LEBIH DEKAT
Matahari menampakkan
wujudnya, mengusir kegelapan menandai bahwa manusia siap memulai hiruk pikuk
mengejar sesuap nasi. Bising suara kendaraan , bel sepeda, saling sahut
menyahut memecah kesunyian pagi yang diselimuti kabut bertebaran menghalau
penglihatan. Pukul 06.00 pagi di kotaku yang bersinar. Tulungagung. Anak kecil
dan remaja berseragam rapi berlalu-lalang siap mengusir kebodohan dan mengisi
otak mereka dengan secuil ilmu yang akan mereka dapat setibanya di sekolah
nanti. Tak terkecuali aku Belva Aloevera biasa dipanggil Elva sekarang berada
pada pagar sekolah tiggi berwarna hijau. SMABOY. Ya , sekolah ini sekarang
menjadi almamaterku.Sekolah yang dipandang sebagai sekolah favorit di kota
Tulungagung yang dulu hanya ada dalam anganku, kini setiap hari aku gunakan
sebagai prasarana menimba ilmu bersama teman-teman seperjuangan yang juga haus
akan ilmu.
Ku langkahkan kaki
memasuki pelataran, menyapa penghuni yang kutemui, bergerak memasuki koridor
aula dan menyusuri jalan berubin menuju ruang kelasku X-8. Masih terasa sunyi
karena waktu menunjukkan pukul 06.30. Aku duduk termenung di depan
mengingat-ingat memory sebelum aku dapat menginjakkan kaki di sekolah ini.
Masih terekam jelas
bagaimana 3 tahun lalu aku berjuang keras diantara sekian banyak siswa dari berbagai
sekolah demi mendapatkan sebuah bangku di SMPN 1 Tulungagung. Waktu itu aku
“kecil” takut. Takut karena nilai pas-pasan yang ku punya namun bertekad untuk
bisa membahagiakan kedua orang tua sungguh besar kurasakan. Mulutku komat-kamit
berulangkali membaca doa agar angka yang terpampang di dinding pengumuman tidak
berubah. Jika sampai berubah 0,1 pun maka harapanku akan hancur dan musnah.
Hati terasa sungguh berat , sesak tatkala itu. Tanganku bergerak bergetar
mencengkeram lengan ibuku yang juga terlihat tak tenang. Mataku berkaca-kaca
menahan cairan bening yang ingin mengalir tapi tertahan di pelupuk mata.
“Sudah , tenanglah.
Jika takdir menghantarkanmu bersekolah disini, itupun tak akan terpungkiri”
kata ibu yang menenangkan
Pukul 12.00. Aku tak
berani menengok berapa angka itu sekarang. Wajahku pucat pasi karena pengumuman
segera diumumkan. Dag dig dug jantungku mulai terdengar keras di gendang
telinga. Ibu segera membimbing menuju dekat papan pengumuman. Sesaat kemudian,
terdengar sorak sorai para siswa yang mungkin nilai nya memenuhi namun ku
dengar pula tangisan sedih karena nilai tak mencukupi. Apakah aku akan
bersorak? Atau menangis? Ku beranikan diri melihat nilai itu. Aku berlari memeluk ibuku dan
menangis keras membiarkan segala hasrat keluar dari tubuhku.28,05. Ternyata aku
DITERIMA. Nilaiku tak kurang dan bahkan tak lebih. Pas. Aku menangis karena
bahagia, sungguh benar-benar bahagia yang meluap.
Hari bergerak menjadi
bulan, bulan berevolusi menjadi tahun. Tak terasa hampir 3 tahun aku setiap
hari menjajakan kaki di SMP. Sekarang, aku berada di kelas 9, kelas paling
senior, paling berkuasa. Tapi aku tak perduli dengan kekuasaan sebagai “kakak
kelas” toh mau berbuat apa pada adik kelas. Ga ada yang perlu dibanggakan. Yang
aku banggakan adalah, diberi kesempatan belajar bersama teman-teman di 9-J.
“ga kerasa ya udah
kelas 9. Masih inget dulu waktu nyamperin kamu dan ngajak kenalan ternyata kita
punya nama yang hampir sama. Hahaha” Aku dan Eva (teman sebangku) bercerita ria
di kelas mengingat masa lalu kami.
“Elva dan Eva. Couple
banget ya. Eh, seminggu lagi, raport semester 1 keluar”
“Alah punyamu pasti
bagus. Gimana dong sama aku?” katanya sambil cemberut.
“Tenanglah. Kita usaha
sama-sama J”
kataku
Kelas 9-J tempatku
menuntut ilmu, dihuni oleh beranekaragam sifat dan karakter anak manusia.
Nakal, friendly, Pintar, superior, pendiam, cerewet, dan bla bla bla hampir
semuanya lengkap. Aku termasuk dalam tipe median atau sifat tengah. Hehehe
nakal bisa , serius bisa , cerewet juga bisa. Sainganku untuk mendapatkan juara
disini tidaklah mudah. Dyasa. Salah satu temanku yang selalu mendapatkan
ranking satu ada disini. ah , rasanya sulit mengalahkan dia. Bayangkan saja
setiap kali raport dibagi, ia selalu mendapat angka satu pada tulisan peringkat
paralel dari kelas 7 hingga sekarang.
Hari berdebar pun tiba.
Aku sengaja tak hadir ke sekolah karena ibuku telah bersedia mengambilkan
raport untukku. Kugigiti jari sambil meratapi nilai yang tertera pada lembar-lembar
kertas putih di depanku. Raportku jelek. Peringkatku turun. Aku ada problem
pula hari itu.dreeeet dreeeet dreeeeet.
Ponselku bergetar tanda beberapa pesan memenuhi inbox
“El ,peringkat berapa?
Jumlah berapa?”pesan dari teman-teman yang intinya selalu menanyakan nilai.
“ranking 1 Dyasa” sudah
kuduga
“Tina tadi nangis di
sekolah.dia udah tau semuanya” deggg
pesan singkat dari zahra ini yang membuat perasaanku tak karuan. Tina , teman
baikku ,aku telah menyakitinya. Hari itu benar-benar tak karuan hidupku. Aku
bergegas melaju ke sekolah dan bertemu dengan Zahra.
“Gimana za? Tina mana?”
tanyaku lirih
“Udah pulang. Dia tadi
mendapat cerita itu dari ilham. Sumpah aku tak berkata apa-apa”
“Ember bener. Terus
gimana? Aku bingung kenapa jadi seperti ini”
“Bukan salahmu. Ini
masalah perasaan. Hanya saja kurang tepat jadi sedikit melukai perasaan Tina.
Tenanglah, waktu akan membuat semua lebih baik”
Setelah hari itu, aku
mulai memicu semangat. Aku tak ingin kedua orang tuaku terbalut kecewa untuk
kesekian kalinya. Segala macam usaha aku lakukan. Mengikuti les tambahan, rajin
mengaji, rajin beribadah, rela pulang telat karena mengikuti bimbel biologi,
hingga aku berhasil mendapatkan program tambahan untuk siswa 5 besar yang
diadakan secara gratis oleh sekolah pun aku lakukan.
Hampir setiap hari aku
bersama kawan-kawan ( Eva , Dyasa, Tina, Zahra, dll ) menunaikan solat duha
bersama di mushola sekolah ketika istirahat pertama. Aku pun semakin
bersemangat karena kelas seseorang yang kini dekat denganku berada di depan
mushola. Hehehe aku remaja biasa yang juga memiliki ketertarikan pada lawan
jenis.
“Eva , ayo ke mushola”
ajakku
“Oh , okede. Bentar
nunggu yang lain. Kan nanti sepi kalau berdua”
Rombongan sebagian
teman-teman menuju kantin , sebagian tetap di kelas. Ku jumpai Tina berjalan
beriringan dengan Imma melewatiku begitu saja tanpa sapaan apapun. Aku merasa
bersalah padanya. Tapi bagaimana aku harus memulai lagi pertemananku akupun
juga tak tahu. Aku melamun berdiri di pintu sambil melihat Tina pergi. Pluuuk ada gulungan kertas mendarat di
kepalaku.
“Aw
, Eva kok jahil banget sih kamu?”
“Makanya jangan nglamun
melulu. Kenapa? Mikir tina ya? Udah gapapa nanti juga baikan kok. Yuk ke
mushola”
Aku berjalan beriringan
dengan Eva, Dyasa dan teman-teman lain menuju mushola yang terletak di belakang
lapangan basket. Bangunan berwarna hijau berukuran sedang itu nampak sepi.
Mataku berkeliaran mencari sosok seseorang yang biasanya ku temui disini. ku
lepas ikat sepatu dan segera mengambil air wudlu bercanda gurau bersama
teman-teman. ketika menginjakkan kaki memasuki serambi mushola ada beberapa
makhluk laki-laki berceloteh ria.
“Ehm,ehm ciee pasti deh
Elva rajin solat gara-gara ketemu si Yodha” bisik Eva lirih sambil mencari-cari
mukena di laci.
“Kan gapapa. Cinta itu
laksana energi. Memberikan energi positif ke dalam hatinya dia sehingga mushola
pun laksana tempat sehari-hari. Iya ga?” Dyasa berceloteh dengan bahasanya yang
mulai bermajas. Aku pun hanya tersenyum malu dan segera menunaikan solat.
Ketika ku mulai bersujud di hadapan tuhan, terasa ada yang memandangiku dari
sisi lain. Kulirik sejenak, ku dapati Yodha dan teman-teman mengamatiku sambil
terkekeh. Huh, malunya aku diperlakukan seperti itu. Setelahnya, ku sapa Yodha
dengan senyuman manis dan meninggalkannya, memakai sepatu dan segera berlanjut
menuju kelas.
“Cieee, ihiir senyumnya
manis banget” kata salah satu teman Yodha
“Kenapa to, emang ga
boleh. Udah ga usah brisik. Kasian Elva ntar malu” bela Yodha terhadapku.
Teman-teman tersenyum mendengar perkataan Yodha dan segera bergegas pergi.
Bulan Februari. Hah,
secepet inikah hari-hari berlalu? Hari itu pelajaran BK sedang berlangsung.
Kami sama-sama mencermati apa yang disampaikan oleh guru setengah baya itu. BK
memang pelajaran ketenangan diri menurutku karena setiap perkataan bu Nia mampu
memberi percikan energi disaat mulai padam. Hubunganku dengan Tina memang sudah
agak membaik. Kami tak bisa terus berselisih karena tempat dudukku ada pas dibelakangnya.
“Orang yang berhasil
adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya. Seorang remaja, memasuki masa
yang sangat labil. Banyak masalah yang harus dihadapi. Tak bisa dipungkiri, tak
bisa menghindar, mau tak mau kita harus menjalani. Jalani apa adanya, seperti
air mengalir. Tanam kebaikan, maka kita akan memetik kebaikan pula”
Masalah. Labil. Yah itu
yang kurasakn sebagai siswi SMP kelas 9. Kadang, perasaanku nyaman sekali tapi
kadang berubah seketika down seperti tak mempunyai daya apa-apa. Aku selalu
membutuhkan motivasi disaat kelabilan mulai menyerang. Aku beruntung memiliki
teman yang kaya akan segudang motivasi.
“Sekarang waktunya kita
mencoba untuk berbagi kepada teman. Curahkan beban yang ada dalam hati agar
fikiran menjadi tenang. Buat kelompok”
Tanpa ba-bi-bu lagi aku
mendapat kelompok dengan Imma Eva dan Tina. Kami saling berhadapan. Inilah
saatnya kujelaskan semuanya agar perselisihan batin ini usai. Aku memulai
dialog terlebih dahulu. Aku berbicara pada Tina.
“Aku ingin bicara sama
Tina. Aku minta maaf Tin. Aku ga tau kalau semuanya seperti ini. Aku ga mau
kita terus-terusan kayak gini” pintaku sangat
“Aku sudah memaafkanmu.
Ini masalah hati. Lagipula, tak ada yang perlu disesali. Maafkan aku juga El”
“Lantas, gimana sama
dia?”
“Aku serahin ke kamu.
Baik-baik ya, jangan bertengkar” kata Tina menguatkan tanganku
“Aku tau kamu gadis
yang baik Tin. Makasih ya?”
Akupun menunduk untuk
menutupi rangkaian air mataku yang jatuh berlinang. Aku lega akhirnya
perseteruan antara aku dan Tina berakhir. Berangsur, kami pun segera membaik.
Hari terus berjalan tak membiarkan waktu berhenti sedikitpun. Otak mulai
digencar, disuap dengan ilmu hingga kadang tertumpah. Perasaan jenuh tak jarang
melanda. Ada 8 Try out yang harus kami jalani sebelum melaksanakan ujian di
atas ujian yaitu UAN yang akan menentukan nasib kami selama tiga tahun ini.
Setiap Try out terdiri atas 4 mata pelajaran dimana harus tuntas dan berlomba
menuju terbaik. Para guru pun tak hentinya memicu semangat, memotivasi, memberi
solusi di tengah-tengah kami. Aku pun dapat merasakan cinta kasih seorang guru
begitu tulus tapi tak jarang pula kami hanya memandang sebelah mata.
“Bimbel lagi bimbel
lagi. Capek. Apa bedanya bimbel sama engga? Toh sama-sama mendapat jawaban dan
bocoran” kata seorang temanku
“Jangan begitu. Guru
sudah memberikan yang terbaik untuk kita. Tidakkah kau ingin membalas jasanya?
Minimal mengikuti dengan baik.” Kata Dyasa yang berada di dekatku sedang
mendengarkan musik.
“Sebenarnya, kadang aku
juga malas sekali. Try out 1 nilai ku sungguh parah. Padahal aku rajin
mengikuti semuanya” kataku
“Itu artinya UAN
hanyalah keberuntungan tak memandang rajin tau tidak. Kejar saja keberuntungan.
Bisa saja Dyasa ku kalahkan” celetuk Eva
“Keberuntungan
memang.Tapi apakah kau tau keberuntungan akan berpihak padamu? Maka dari itu
ikhtiar dulu jangan berpangku tangan” Jawab Dyasa
Kami sebrangi kami
jalani Try out demi Try out. Ada 5 paket, sudah diacak agar kami bisa mandiri
tak tergantung pada teman. Tapi menurutku, otak para siswa lebih cerdik dari
para guru. Walaupun terdapat 5 paket bahkan 20 paket sekalipun, tetap ada cara
mendapatkan bocoran. HP. Itulah fasilitas paling canggih dan terpenting di kala
ujian kognitif meski dilarang. Aku heran kenapa begitu jadi mau tak mau aku ikut-ikutan
menggunakan karena tak mau nilaiku jeblok. Eits, tapi aku menggunakan hanya
pada detik terakhir saja. Hingga pada suatu Try out
“Elva , balas sms ku
cepat” kata temanku dari seberang dengan lirih
“Aku takut. Pengawasnya
galak. Nanti saja” bisikku lirih
Aku melanjutkan
mengerjakan soal bahasa Inggris di depanku. Kuamati mata pengawas di depan
laksana mata burung hantu mencari mangsa. Aku terdiam. Dini temanku yang duduk
tepat di hadapan guru melirik memanggilku
“Lihat hp mu. Please”
katanya tanpa suara. Yang benar saja. Tempat duduknya di depan guru nanti
ketahuan bagaimana? Aku bingung. Dreeet
dreeeet
“ Dini jangan gunakan ponsel. Peringatan pertama”
suara bu rini menakutkan. Pada saat itu pula ku balas sms nya. Ah , bodohnya
aku. Tak apa hanya sekali.dreeet dreeet
. berbunyi lagi HP dini. Bodoh sekali dia.Suasana hening. Jantungku dag dig
dug. Ku amankan ponsel dengan segera. Hingga sesaat kemudian Bu Rini mulai
bergerak perlahan mengitari kami dan kembali ke depan lalu bergegas menyambar
ponsel milik Dini. Kami semua tertunduk hingga Try out usai. Aduh , kasihan
sekali Dini.
Ketika aku
berbincang-bincang bersama Yodha dan lainnya di mushola salah satu temanku
berlari-lari menghampiri kami
“Dipanggil bu Rini ke
kantor sekarang” katanya. Deeeg !
“Aku? Aku salah apa?”
kataku santai
“kamu lakuin apa El?
Cepat kesana” pinta Yodha. Teman lainnya juga bertanya-tanya. Dengan segera aku
berlari menuju kantor guru. Kudapati Dini, Ida, lutfi dan lainnya merunduk di
depan guru-guru. Aku masuk. Dan disidang
“Ini satunya. Masih Try
out main hp. Mana hp kamu? Pasti sms sudah hilang dihapus semua. Tadi sms siapa
saja?Mental RSBI seperti ini?” kata Bu Rini
“Bu saya tidak bermain
hp. Hanya sekali mengirim jawaban pada dini”
“Halah sama saja.
Alasan. Kalian ini semua beda kelas, masih saja bisa berhubungan. Ini masih Try
out belum ujian seharusnya mandiri!!”
“Kalian itu ditipu sama
yang lain. Coba, jika yang kalian kirimi jawaban itu nilainya lebih bagus apa
rela padahal kalian lebih mampu?” celetuk guru lain
“Ida itu pintar lo bu.
Paralel terus. Mau juga dikibuli yang lain” kulihat Ida meneteskan air mata. Ia
memang pintar dan sekarang menjadi korban. Aku pun menjadi korban sms berantai
dari HP Dini yang tadi disita. Padahal hanya sekali aku sms dia.Semua yang ada
di inbox Dini kena batunya.
“Bu yang menggunakan hp
juga banyak kenapa hanya kami yang kena?” ida
Tiba-tiba teman kami bernama putra
bertubuh tinggi gendut datang
“Bu saya salah apa?”
katanya seperti tak punya dosa
“Nah ini sternya. Dalam
seminggu membuat kesalahan 3 kali. Sungguh pintar” Timpal bu Rini dengan gemas.
Putra memang termasuk anak nakal jadi ketika ia kena masalah maka semua guru
akan ikut-ikutan pula mengatai dia. Aku ada disitu jadi kami semua kena
“Anak polisi bertingkah
seperti ini. Tak pantas kamu itu. Berbuat kesalahan setiap minggu. Bangga kamu
ha? Mana HP kamu” pinta bu Rini. Aku hanya bisa tertunduk. Aku lesu karena
semua guru menyalahkanku. Kita semua.
Sekarang gimana
keputusannya? Apa perlu panggil orang tua kesini biar tau bagaimana kelakuan
anaknya.” pekik bu Rini.Orang tua katanya? Bagaimana jika benar orang tuaku di
panggil? Hatiku bergeming kacau memikirkan ibuku. Ibuku? Bagaimana ini? Beliau
sedang sakit karena kecelakaan beberapa hari yang lalu. Bagaimana perasaannya
jika tau aku seperti ini? Aku merasa bersalah, sangat bersalah. Pikiranku
kacau, hatiku laksana menanggung beban yang berat. Kasihan ibuku yang setiap
hari membuatkan sarapan untukku, selalu menyayangiku, membimbingku berharap aku
menjadi lebih baik. Tapi apa yang ku perbuat? Tak kuasa aku menahan air mata.
Aku tertunduk. Kurasakan pipiku basah oleh cairan bening. Dadaku sesak dan
akhirnya aku terisak menangis.
“Bu saya mohon kali ini
saja. Jangan panggil orang tua kami”kata ida
“Apa jaminannya? Apa
kalian akan berubah?” kata bu Rini
“Ya bu kami janji akan
berubah” Serempak. Lama terdiam akhirnya
“Baiklah saya maafkan.
Tapi jika sampai saya tau kalian mengulangi, tak segan-segan HP kalian saya
rusak sekalian. Ya sudah kembali sana”
Akhirnya kami kembali.
Hanya saja Dini beserta HP nya tetap di kantor. Di depan, teman-teman banyak
yang menanyai kami. Akupun menjelaskan sekenanya. Sejak saat itu , akupun
jarang menggunakan HP saat Try out. 23-26 April. Hari itu hari penentuan bagai
hidup dan mati. Perjuangan kami 3 tahun hanya dengan mudah ditentukan 4 hari.
Sebenarnya aku tak suka model ini tapi aku harus patuh. Aku pun mengerjakan
soal dengan komat-kamit membaca doa pemberian ustad saat aku mengaji semalam.
Seharusnya hari itu hari sakral karena hari itu penentuan seberapa besar
kemampuan. Tapi yang ku temui hampir semuanya bekerja sama menuju
keberuntungan. Segala cara dilakukan. Jika aku bekerja sendiri, aku tak yakin
apakah aku bisa menuai keberuntunganku. Jujur saja aku ikut-ikutan mencontek
mengejar keberuntunganku diantara semuanya. HP. Aku jarang menggunakannya.
Akhirnya setelah 4 hari melaksanakn tugas, itulah hari kebebasan kami.
“Dyasa, kamu jadi
melanjutkan ke TN?” tanyaku
“Jika jalur umum , aku
tak mungkin kuat membayar biaya operasionalnya. Aku hanya mengandalkan
beasisiwa itupun sulit. Tapi aku akan bermimpi”
“Aku galau ingin
melanjutkan kemana. Aku takut pilihanku salah sa”
“Dimana mimpimu?
Bermimpilah dan wujudkan. Jangan takut” jawabnya
“Bgaimana dengan kamu
Eva” aku bertanya. Saat itu aku, eva, dyasa, tina sedang berada di mushola
setelah melaksanakan solat Duha.
“Aku ke SMUKED saja”
kata Eva. Akupun cemberut
“SMUBOY saja bersamaku
va. Dengan Tina juga” kataku
“Akan ada tes masuk ke
SMUBOY katanya. Ikut aja siapa tau masuk” kata Tina cepat sambil membaca novel
di tangannya
“Aku tebak ya, kalian
bertiga akan sama-sama ke SMUBOY dan aku akan ke Taruna Nusantara. Hahaha” tawa
Dyasa
“Weeeh dia tau, kayak
dukun aja sok tau tapi apapun yang terjadi amiiiiin deh” Ceplos Tina. Kami
semua tertawa.
Beberapa minggu kemudian,
kabar burung tentang adanya tes masuk di SMUBOY menjadi nyata.
Berbondong-bondong siswa rela antri menunggu untuk mendapatkan nomor tes salah
satunya adalah aku.
“Kemanapun keinginan
kamu, lakukanlah sepenuh hati dan banggakan kami. Kejarlah! Kehidupan kamu
kelak harus lebih baik dari kami” Kata-kata yang menggema di telingaku,
membakar semangatku, membangun puing-puing jiwaku. Kata ayah dan ibuku. Kali
ini aku harus mendapatkan SMUBOY, harus pekik dalam hati. Antrian begitu
banyak, saingan yang begitu berat aku hadapi dengan kemampuan serta doaku. Hari
itu tiba, perjuangan menapak sebuah mimpi. Mimpi kecilku dulu memasuki SMUBOY.
Melewati sejuta halang dan rintangan kini sudah dekat. Seminggu, kami para
calon siswa digembleng tes untuk mengetahui seberapa besar kemampuan kami. Berharap
mendapatkan hasil yang maksimal untuk generasi lebih baik. Akupun berlomba
menjadi salah satu orang yang beruntung kala itu. Aku teringat 3 tahun lalu
saat mendapatkan SMP 1 dan sekarang aku harus mendapatkan SMUBOY.
Hari pertama ujian tes
pun tiba. Aku mendapatkan bangku paling belakang dan paling pojok. Krik krik
suasana aku rasakan karena diantara kami belum ada yang akrab satu sama lain.
Beberapa lama kemudian, petugas tes menginjaakkan kaki memasuki ruangan. Aku
menelan lidah dan menghembuskan nafas panjang menghilangkan udara berat
mencekat dadaku sehingga gugupku semakin menyerang. Dipimpim salah satu
diantara kami, doa yang hening dilantunkan. Aku membuka lembaran soal yang ada
di depanku. AKU BISA. Ku kerjakan dengan tenang dan perlahan namun pasti supaya
ketelitian terjaga. Tapi apa yang terjadi? Tak lama kemudian kantuk
menyerangku, aku jadi malas membaca. Apalagi ku lihat siswa di depanku
bergerak-gerak memainkan tuts hp. Jika aku mau, waktu itu akan berteriak
mengacak-acak siswa itu. Dia pikir sekolah ini milik neneknya? Hoe, sadar ini
SMUBOY, baru tes aja main curang. Ku perhatikan ia sambil meneruskan
pekerjaanku sendiri. Soalnya mudah tapi kadang jawabannya yang sulit.tak jarang
aku menggunakan aji pengawutan dengan mengucap bismillah dahulu. Hari
selanjutnya kulalui dengan santai karena tak setegang hari pertama.
Hari terakhir adalah
tes komputer. Itu mudah bagiku. Aku dan teman-teman segera menuju ruang
pelaksanaan. Tak sengaja aku bertemu seseorang
“Daftar disini juga
kamu?” tanya nya dengan sok cool.namanya daus dulu tetangga ku semasa SD. Dulu
ku kenal ia pendiam tapi sekarang?? Semenjak SMP. Menurutku tampangnya lumayan,
tapi kelakuannya ga doyan deh.
“Iya, sama siapa kamu?”
tanyaku
“Sama geng dong. Udah
komitmen kita-kita mau masuk sini. Aku doain ya biar bisa ketemu lagi nanti
kalau kamu juga masuk sini”
What? Dia siapa? Memang
penentuan ada di tangan bapaknya apa. Kutinggalkan dia dan menuju komputer yang
kosong. Ku ikuti instruksi pembimbing dan kami harus menggunakan username. Aduh
dimana ya? Ku acak tasku, membolak-balik dompet, merogoh saku demi kertas kecil
berisi password dan username. Setengah mati! Waktu udah berjalan. Aku bingung.
“Shhhtt! Cari ini?”
Daus menodongkan kertas kecil
“Ha? Kok ada di kamu?
Sini ! hih kamu pikir ini main-main apa” Aku jengkel. Dengan kilat aku segera
mengerjakan tes ini. Ya ampun kenapa waktu cepat sekali. Tanganku menari-nari
di atas keyboard, mataku berputar-putar menghadap monitor dan kertas soal.
Kuseka keringat dingin di pelipisku. Aduh aduh mati aku belum mengerjakan
Excel. Rumusnya lupa. Waktu tolong berhenti sebentar saja. Teeeet! Sudah!
Berakhir! Dengan gemas ku tinggalkan ruangan itu. Aku pasrah saja yang penting
sudah kulakukan yang terbaik.
“Denger-denger nilai
komputer 60% loh” Kata Zahra. Aku kaget dan terjedat dinding mushola
“Auuww! Yang bener? Aku
belum selesai mengerjakan ExcelL”
“Oya? Sama dong. Terus
gimana dong?” kata Eva panik
“Biarin aja, kita udah
usaha yang terbaik sayaaaaang” kataku sok imut. Kulihat wajah Dyasa bersinar
dan senyumnya mengembang. Dia segera berlari menghampiri kami di mushola.
“Alhamdulilah, aku
lolos tahap pertama di TN”
“Serius? Jalur
prestasi?” pekik Tina. Dyasa mengangguk cepat. Seperti anak kecil menemukan
permen kami semua ikut girang.
“tapi masih ada banyak
lagi tesnya. Se-Indonesia bayangkan. Apakah akan gagal?” tanyanya “Oh tentu
jangan. Apapun akan aku lakukan untuk mengejar mimpiku” lanjutnya
“Percaya kekuatan
mimpi?” Tanyaku
“Percaya. Dream,
believe? Make it happen dear. Semua diawali dari mimpi di sketsakan melalui
otak, disusun oleh kekuatan, dan diwujudkan dengan keyakinan. Jadi kuncinya
adalah berani dan yakin” katanya dengan tersenyum. Kami hanya tertawa. Ku akui
Dyasa memang cerdas. Aku adalah salah satu orang beruntung karena mengenalnya.
Selain pintar, dia juga memiliki kepribadian yang excited. Dia santai, tak
pendiam, kadang cerewet banget. Dia juga seperti kami menyukai artis,
membicarakan idola, bernyanyi tak jelas tapi pintar. Aku kadang heran.
Seperti inilah kegiatan
kami setelah UAN berlalu. Suwung. Tak mengerjakan apa-apa. kami mulai membuat
foto album kenang-kenangan, berlatih untuk dies natalis dan mengurus raport.
Selebihnya nothing. Hanya monoton berbincang-bincang saja. Yodha. O iya aku
sudah 4 bulan bersamanya. Kami boleh dibilang pacaran. Tapi jarang bertemu,
miss komunikasi, tak mengerti satu sama lain, cuek and so on. Beda sama Yodha
yang dulu sebelum ada hubungan seperti ini. Dulu ia teman dekatku, aku sering
menceritakan segalanya padanya. Dia nyambung dan baik. Aku sering bertemu
dengannya di mushola hingga datanglah perasaan itu. Perasaan yang mengawali
hubungan ini. Aku ingat ketika ia mengatakan kalau ia menyukaiku waktu itu
sedang bergandengan sepeda motor denganku. Sejak saat itulah ia berubah.
“Aku kasian sama kamu.
Aku ga pantas buat kamu. El, aku ga bisa menghubungi kamu. Kita temenan aja ya”
Deg ! dan semuanya berakhir. Aku tak kuasa menahan tangis, bayangkan gara-gara
HP rusak dia mengakhiri semuanya. Aku sudah mencoba mengerti dia tapi ini yang
kudapat. Aku menangis keras di hadapan teman-teman di teras mushola. Menangis
keras sekali.
“Menangislah saja. Tak
apa” kata Tina.
Sungguh dia teman yang baik.
Dulu aku menyakitinya karena Yodha. Dan sekarang aku berakhir dengan Yodha dial
ah yang menghiburku. Aku patah hati dan merasakan galau
setelah itu. Setiap lagu yang ku dengar bagaikan terpaut dengannya. Aku heran
kenapa bisa begini dan itu segera berakhir karena masa SMP ku berakhir pula.
Aku mendapat nilai 38,50 cukup untuk memasuki SMUKED. Namun aku memilih SMUBOY.
Aku diterima. Mimpiku semakin dekat lagi. Terasa lebih dekat bersama
kawan-kawan. Dies natalis pun digelar untuk meresmikan bahwa kami telah lulus.
Aku memakai gaun kebaya berwarna hijau rancangan ibuku. Make up tipis menghiasi
wajahku. Ibuku bilang aku cantik. Hehehe. Hari itu benar-benar berkesan. Aku
melihat kawan-kawan terasa lebih dewasa mengenakan kostum kebaya. Entah kapan
lagi aku bisa bertemu mereka semua setelah ini. Tangis haru mengiringi kami.
Potret foto berpuluh kamera ikut menjadi saksi bisu berkesannya masa SMP. Masa
yang indah penuh cerita. Kini kami akan bergegas mencari jalan mimpi
masing-masing agar terasa lebih dekat mengarungi hidup. Dyasa telah mendapat
mimpinya di TN. Aku juga telah mendapatkan mimpiku di SMUBOY. Sekarang aku akan
berusaha mengejar sejuta mimpiku lagi di sini. Almamaterku. Siap menghadang
rintangan, melawan negara api sekalian, berlari semampuku dan membawa diri ini
menuju mimpi lebih dekat.
Bel jam pertama
berbunyi nyaring di gendang telinga. Aku tersadar dari lamunan dan memulihkan
ingatan, berlari menuju ruang kelas. Mengawali pelajaran pagi bersama kawan baruku. Kawan yang akan bersamaku menapaki mimpi
selanjutnya, memulai cerita baru. Lebih dekat bersama X-8 J.
END
0 comments:
Post a Comment