Kasih Sayang Nenek



Hai, namaku Suhaila panggil saja Ela. Aku ingin berbagi sedikit cerita dalam lembaran kertas. Cerita tentang seseorang yang aku sayangi. Libur semester pertama tiba. Kala itu umurku baru 10 tahun dan mengenam pendidikan kelas 4 sekolah dasar. Selayaknya anak-anak, akun pun sangat senang bila hari itu tiba. Aku yang masih kecil membayangkan bagaimana serunya liburan di desa nenekku. Bermanja ria, berburu ikan bersama sepupu, bermain sepeda, berlarian di tengah sawah yang begitu sejuk, bertengger di atas cakruk, dan membuat makanan bersama-sama.Aku yang biasanya bangun terlambat kini mendadak rajin bangun pagi. Tanpa diperintah, otakku langsung berfikir untuk berlari ke kamar mandi, menyikat gigi, menggosok seluruh tubuhku dengan sabun.
“Ella, tumben kok pagi sekali bangunnya?” tanya ibu
“Aku ingin ke rumah mbah Tum bu. Kita jadi kesana?” jawabku di balik diding kamar mandi dengan suara khas anak-anak.
“Iya sayang. Ya sudah mandi yang bersih. Adikmu belum bangun. Jadi kita berangkat jam 9 saja”
Waktu yang ku tunggu pun tiba. Aku, ayah , adik dan ibuku segera berkemas untuk melancong ke rumah nenekku. Dengan mengendarai mobil kesayangan ayahku, 15 menit pun kami telah memasuki pekarangan rumah yang memiliki halaman cukup luas. Kuhirup udara segar mengalir menyisir wajahku yang masih imut, dengan besar hati aku segera berhambur keluar dan berlari
“Mbah tum..................................................” teriakku dengan keras sambil berlari menuju tempat nenekku. Ya, sekarang aku sudah disini. di Desa Sumbergempol dimana ayahku dulu pernah dilahirkan di tanah ini.
“Hei, kemari nak” Balasnya. Wajah wanita tua itu bersinar sumringah mendapati kedatanganku. Langsung dipeluknya aku dalam rengkuhannya. Pelukan itu begitu hangat.
“Kau sudah besar rupanya. Mbah sudah tak kuat lagi menggendongmu nak”
“Aku sudah kelas 4 mbah. Tapi, mbah masih kuat menggendong Amru”
Dari mobil, adikku berumur 2 tahun berlari dengan berkelok-kelok seperti tuyul karena kepalanya yang hanya dihuni sedikit rambut. Bokongnya tampak besar karena pampers. Wajahnya amat imut seperti kakaknya. Amru bergegas menghampiriku juga. Aku pun tertawa. Kami masuk ke dalam dan menaruh barang-barang di almari. Mungkin beberapa waktu aku akan tinggal disini.
“Kak Fina tidak kesini mbah?” tanyaku dengan lugu
“Besok katanya. Nanti tidur disini?”
Aku mengangguk cepat. Nenekku seorang wanita perkasa. Ia bekerja keras untuk anak-anaknya sejak kakek meninggal ketika ayahku berada di bangku SMA. Nenek bekerja sebagai pengrajin sapu. Disini memang terkenal akan industri sapu, kemoceng, dan lain-lain. Hingga sekarang pun pekerjaan itu masih dilakukan. Siang itu, mbah meneguk secangkir kopi sambil menikmati batangan rokok di pelataran. Asapnya membuatku batuk. Aku tak habis pikir kenapa nenek suka sekali merokok padahal ayahku sebaliknya.
“Bu, jangan sering-sering mengkonsumsi rokok. Ibu sudah tua” Kata ayahku. Nenek hanya tersenyum tipis tak menghiraukan perkataan ayahku.
Menjelang sore tiba, nenek tiba-tiba mengajakku berkeliling desa mengendarai sepeda motor milik pakde. Oh ya nenekku masih tergolong gaul meski usianya berkepala 5. Perasaanku ku pun was-was membayangkan bagaimana bila nanti nenek lupa bagaimana cara mengerem atau menyetir motor ini. Walaupun aku masih kecil, aku pun bisa berfikir bagaimana sakitnya jatuh.
“Ayo nak, tak apa-apa kita berkeliling membeli bakso” ajaknya
“Tak apa El, sana pergi sama nenek” ibuku menimpali. Akhirnya dengan izin Ibu, aku pun segera bergegas pergi. Aku yang masih kecil merangkul erat pinggang nenek supaya tak terpental. Dibunyikannya mesin itu dan gas pun mulai di putar. Dan perjalanan kami pun dimulai. Aku tertawa senang sepanjang perjalanan. Nenek membawaku mengitari desa Jabalsari yang luas dan asri melewati jalan belum beraspal, mengamati sawah dengan padi menguning, mencari ilalang, berputar-putar di pematang sawah, bertamu di rumah saudara, senang riang hingga magrib pun tiba. Terakhir, kami berhenti di warung bakso langganan keluarga. Aku suka ini. Lidahku langsung berputar-putar membayangkan enaknya bakso jika masuk ke dalam mulutku, dan mengalir di kerongkongan. Maka dari itu, begitu butiran bakso ddi dalam mangkuk disuguhkan, dengan lahap aku pun menyantapnya.
“Hati-hati nak. Nanti tersedak. Pelan-pelan makannya”
“Iya mbah. Pelan-pelan kok” aku tertawa memamerkan gigiku yang baru tumbuh. Setelahnya, kami pun pulang karena hari berganti malam.
Tak terasa begitu cepat malam berlalu digantikan pagi hari yang sejuk. Sinar matahari mulai menembus pori-pori kamar yang gelap. Aku yang tidur bersandingan dengan nenek pun tak ingin terbangun. Malas. Inginnya tidur seharian karena tadi malam mendengar cerita leluhur dari nenek dan ayah yang sungguh seru hingga pukul 23.00. aku menguap berkali-kali ketika nenek menyuruhku bangun. Nenek segera berjalan keluar kamar sementara aku menarik selimut yang baru saja dilipat, kurentangkan kembali, kututupi tubuhku dan tidur lagi. Kira-kira 60 detik aku terpejam,
“Mbah tum............aku kangen sekali sama mbah” berisik. batinku
“Ela dimana mbah? Ha? Masih tidur?” Aku menguping. Ku dengar suara hentakan kaki seperti mendekati tempat dimana aku tidur. Kurasakan semakin dekat, dekat dan
“Ela,ela,ela bangun. Dasar kebo!” seseorang mengguncangkan tubuhku. Aku kesal dan membuka mata ingin memberontak.Tapi tak jadi. Karena itu adalah
“Kak Fina......” kami berpelukan dan jingkrak-jingkrak layaknya teletubies. Kantukku melayang hilang entah kemana berganti jiwa petualang menggebu-gebu. Satu minggu pun menjadi hari yang penuh warna bersama sanak saudara mengikat tali darah diantara kami karena hanya pada saat moment inilah kami bersama. Kami tak bisa hanya diam di rumah saja. Memancing, berlarian, petak umpet, menjahili seseorang, bermain alat musik tradisional buatan paman, berebut remote televisi, mendengarkan dongeng dari mbah, dan paling seru adalah berjalan di pematang sawah ditemani nenek kala sepoi-sepoi membuat rambut kami melayang bak vidio klip lagu india. Hmm, tenang banget dihati rasanya. Malam-malam selanjutnya kami pun tidur di sisi mbah tum ditemani cerita yang tiada habisnya. Satu minggu pun berlalu. Aku dan Kak fina harus pulang karena jadwal sekolah segera memburu. Aku melihat kesedihan di wajah mbah tum. Kasian beliau yang hanya bersama pakde di rumah. Aku sebenarnya ingin tetap disini tapi mau bagaimana lagi. Setelah mencium keningku dan kak Fina , kami melambaikan tangan dan segera pulang bersama orang tua. Dadaaaa
Hampir 3 bulan aku tak menjenguk nenek. Hanya kadang orang tua menjenguk beliau. Malam itu aku tak sengaja mendengar pembicaraan ayah
“Mbah terkena diabetes dan sakit paru-paru. Itu sebenarnya sudah lama tapi tetap saja menolak berobat” kata ayah mengejutkanku
Itu gawat yah bisa komplikasi. Makanya suruh berhenti konsumsi kopi dan rokoknya. Ajak berobat di kediri sana yah” jawab ibuku. Apa? mbah sakit? Aku menggigit bibirku dan memasang wajah anak kecil yang sedang khawatir. Segeralah aku lelap dalam tidur cantikku. Keesokan harinya aku diajak ibu menengok nenek bersama adikku. Tak kusangka sakit yang diderita mbah membuat tubuhnya terlihat lebih kurus. Tapi senyumnya tak pernah berubah. Ada kekuatan di senyum itu. Disana aku tak mengungkit-ungkit tentang penyakit itu bak tau apa-apa. hanya menikmati moment bersama nenek yang aku lakukan. Ketika itu, aku melihat ibu menasehati nenek untuk berobat tapi nenek tetap bersi keras tetap tak mau.
“Kalo tak diobati ndak akan sembuh bu” kata ibuku
“Untuk apa berobat? Menghabiskan uang saja. Cukup minum pil di warung”
“Tak bisa begitu ibu, harus penanganan dokter kalau sakitnya seperti ini”
“Kalau takdir mengatakan aku harus mati karena penyakit ini ya nda apa-apa toh? Toh aku sudah tua. Tenang saja tidak usah difikirkan” jawab nenek membuat hatiku kelu. Kenapa nenek keras kepala? Padahal ini demi beliau. Demi kesembuhannya. Hari berganti menjadi bulan. Tak perlu waktu bertahun-tahun penyakit itu membuat nenekku tak berdaya. Kini wanita paruh baya itu hanya bisa tertidur di ranjang saja. Ayahku sempat menitikkan air mata ketika melihat nenek. Tanpa basa-basi lagi ayah beserta saudaranya membopong tubuh nenek menuju kendaraan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Aku memang tak ikut serta perawatan di RS kala itu namun aku mengetahui informasi dari ayah bahwa nenek positif terkena diabetes dan paru-paru akut yang disebabkan oleh putungan rokok selama ini. 3 hari dirawat, nenek bersi keras ingin pulang. Rawat jalan pun tak bisa dihindari karena ini permintaan beliau. Aku menjadi sering mengunjungi nenek. Kulihat karena obat yang dikonsumsi membuat kesehatannya pulih kembali dan berat badannya dapat naik sedikit setelah turun drastis.
“Mbah sudah sehat?Jangan hisap rokok lagi” kataku lugu di samping beliau
“Iya nak. Nanti ingatkan ayahmu jangan boleh merokok ya. Jangan seperti mbah. Biarkan saja karena mbah sudah tua. Kamu kelas berapa sekarang?”
“Kelas empat mbah. Sebentar lagi kelas lima J
“Cucu mbah sudah besar. Nanti mbah akan mengiringi kamu ketika kamu menikah kalau sudah besar” Senyum beliau mengembang. Mengiringi aku menikah? Padahal umurku masih 10 tahun kala itu. Tapi aku senang karena nenek sangat menyayangiku. Namun setelahnya, aku disibukkan lagi oleh tugas sekolah. Hanya orang tuaku yang memantau keadaan. Cukup mendengarkan berita dari ayah saja. Malam itu berita menyesakkan datang dari layar ponsel ayahku.kriiing
“Halo?” kata ayahku “ibu drop. Segeralah kesini” terdengar suara pakdeku yang terisak tangis dari ponsel itu. Pukul 9 malam. Ayah, ibu dan adikku segera bergegas ke rumah nenek. Aku pun ingin ikut tapi tak dipebolehkan. Bayangkan bagaimana rasanya. Aku sangat khawatir sekali. Sendirian di rumah entah apa yang harus aku lakukan. Aku hanya bisa berdoa kepada Tuhan semoga nenekku umurnya panjang.satu jam kemudian orang tuaku pulang namun tergesa. Ayah tak memperdulikan aku yang bertanya. Ia langsung saja menyambar kunci mobil dan bergegas pergi lagi. Wajahnya kian terlihat lesu.
“Ibu, mbah kenapa?”
“Kondisinya sedang gawat. Ayah sedang membawa mbah ke rumah sakit lagi nak. Sudah tidur sana” bagaimana aku bisa tidur?
“Besok aku ingin menjenguk mbah bu. Boleh ya?” ibuku mengangguk
Setelah pulang sekolah, aku diajak ibu menjenguk nenek. Beliau ditempatkan di ruang sanatorium. Kulihat dari balik pintu tubuhnya yang mengurus lagi. Tabung oksigen yang besar berada di sampingnya. Banyak selang yang dipasang di tubuh beliau. Wajahnya pucat pasi tak mempunyai daya. Aku ingin masuk. Ingin berbicara padanya. Tapi orang-orang tak mengizinkanku. Hatiku memberontak. Aku ingin masuk. Aku rindu nenek. Nenek aku disini. masih ingatkah katamu kau akan mengiringi pernikahanku? Dengan berat hati aku meninggalkan rumah sakit itu. Ingin rasanya aku kembali. Sampai malam pun tiba ayah belum juga pulang. Masih setia disana menunggui nenek. Tiba-tiba terdengar suara motor berhenti di depan umah. Itu ayah. Wajahnya merah, matanya menyipit karena menangis. Ayah merangkul ibu di depan pintu dan menangis lagi. Ada apa ini? Aku pun bingung tapi tiba-tiba aku ikut menangis. Perasaanku tak enak
“Ibu meninggal” kata ayahku tersedu-sedu. Seperti halilintar menggelegar mencabik hatiku. Aku tak percaya ini. Baru kemarin aku bercanda bersama mbah. Aku masuk ke kamar ketika orang tuaku pergi ke rumah beliau. Aku menahan tangis hingga terisak-isak. Mulutku bergetar tak kuat untuk terbungkam. Aku menangis keras. Keras sekali membasahi ulu hatiku. Aku kehilangan nenek. Nenek yang selalu menyayangiku. Aku tak percaya sungguh tak percaya. Ku lihat gambar di dinding yang pernah ku gambar semasa TK yaitu lukisan aku ayah ibu dan nenek bergandeng tangan. Kini tangan itu harus terlepas di panggil sang ilahi. Kurasakan seperti ada yang hilang dari hidupku. Benar-benar hilang. Aku tidur dan kuharap ini hanya mimpi. Tapi itu semua nyata.
Pagi sekali aku tiba di rumah nenek. Biasanya sepi sekarang banyak orang berkerumunan memakai baju dominan hitam. Aku melangkah masuk ke dalam. Biasanya ada sambutan hangat dari nenek tapi sekarang beliau hanya terdiam bisu tertutup kain kafan putih. Aku tak diberi kesempatan melihat wajahnya terakhir kali. Aku rindu senyumnya. Sangat rindu. Banyak orang kulihat matanya menyipit menguraikan air mata tak terkecuali aku dan kak Fina yang berada disisi ayahnya. Untaian doa-doa mengiringi kepergian mbah Tum.
Setelah upacara solat dilaksanakan, jasad nenek segera di berangkatkan. Aku pun ikut serta. Ingin kudampingi beliau terakhir kali. Tak lama, kami sampai di pemakaman umum Desa Jabalsari. Lubang berukuran tak lebih dari 4 meter itu akan menjadi peristirahatan terakhir nenek. Beriringan adzan dan doa jasad suci itu segera di masukkan ke dalam lubang. Tanah demi tanah kini mengubur permukaan hingga sekarang tak terlihat apa-apa. ditaburi bunga beraroma wangi di atas gundukan tanah itu. Adzan serta doa dilantunkan oleh kyai mengiringi peristiahatan di liang lahat. Aku menangis lagi. Kali ini bersama kak Fina. Kami berdua ditinggalkan. Cucu yang terbiasa dibelai kasih sayang nenek. Kini tak akan ada lagi dongeng. Tak ada lagi belaian rambut sebelum tidur. Selamat jalan nenek. Sungguh engkau telah berhasil menjadi nenek terbaik di dunia. Semoga engkau tenang di alam sana. Kami disini takkan pernah melupakanmu.
END

0 comments:

Post a Comment